SEJARAH TAHUN BARU IMLEK - ARTIKEL IMLEK (BAGIAN 3 DARI 3 ARTIKEL - AKHIR)
Perjamuan makan bersama pada malam menjelang tahun baru adalah hal utama yang biasa dilakukan,
sekaligus untuk bermusyawarah merencanakan pekerjaan yang akan segera
dimulai esok hari, menu makanan yang disajikanpun makin beragam dan
bermakna sejalan dengan perkembangan zaman dan tingkat kemakmuran, serta
mitos-mitos di setiap daerah misalnya:
Ikan ( Yu – yang dengan nada sama berarti ’Berkelebihan’) menjadi menu
makanan yang tidak boleh ditinggalkan agar keluarga tersebut mendapat
tambahan rejeki yang besar di tahun depan ini.
Kue-kue an juga
merupakan hidangan ringan yang harus disediakan untuk menjamu tamu dan
kudapan di saat santai, kue-kue ini disediakan dengan rasa yang manis,
agar masa depan keluarga dan tamu akan semanis kue-kue ini, begitu pula
dengan bentuk yang memiliki makna masing-masing serta beda di setiap
daerah, misalnya di:
Tiongkok bagian utara ada Shui Jiao –semacam
Pangsit yang berisi berbagai jenis sayuran dan daging yang dimaknakan
manusia harus hidup bersatu dan rukun. Tiongkok bagian selatan ada Nian
Gao – kue Ranjang (Nian – dengan nada sama berarti ’Tahun’, Gao – dengan
nada sama berarti ’Tinggi’) yang dimaknakan semoga hari-hari kedepan
tingkat kehidupan jadi semakin tinggi/makmur.
Dalam hal makanan,
perayaan Hari Raya Imlek di Indonesia telah membaur dengan unsur budaya
lokal. Pada hari ke 15 yang merupakan penutupan rangkaian acara perayaan
Hari Raya Imlek, di beberapa tempat dihidangkan makanan yang dikenal
dengan nama Lontong Cap Goh Meh. Sedangkan Masyarakat di daratan
Tiongkok tidak mengenal lontong karena lontong adalah makanan khas
Indonesia. Ini merupakan representasi dari pertautan lintas budaya.
Barongsai dan liang-liang adalah salah satu atraksi kesenian dan
kebudayaan tradisional yang selalu ditampilkan pada perayaan-perayaan di
masyarakat Tiongkok, maka pada perayaan Hari Raya Imlek inipun menjadi
suatu atraksi yang tidak terlewatkan, paduan kesenian dan akrobatik ini
disukai karena suara tabuhan tambur yang keras, dapat menarik perhatian
masyarakat untuk datang menyaksikan, sedangkan wajah Barongsai dan
Liang-liong yang seram dan warna warni tersebut dianggap dapat
menakut-nakuti, bahkan mengusir makhluk jahat maupun binatang buas yang
akan / dapat mengganggu masyarakat, namun pada tempat/daerah yang
berbeda akan terdapat implementasi makna yang sedikit berbeda.
Komunikasi lintas budaya juga muncul dalam tradisi ’barongsai’ yang bisa
dimainkan kapan saja dan oleh siapa saja, begitu juga dalam acara
gotong toapekong yang hanya dilakukan pada hari ke-15 setelah Imlek,
yaitu Cap Go Meh. Di Jakarta, Medan, dan juga kota-kota lain di
Indonesia selalu menyertakan kaum penduduk asli sebagai pemain.
Sementara itu pertunjukan itu dapat ditonton oleh semua orang, baik oleh
etnis Tionghoa maupun etnis lain.
Agama Tao- adalah suatu ajaran
tentang keyakinan terhadap yang maha kuasa (ketuhanan) pertama di
daratan Tiongkok, yang lahir dari ajaran Laozi (+/- tahun 600 SM),
disusul dengan masuknya agama Budha (+/- tahun 500 SM) dari India, serta
penghormatan terhadap Filosof tersohor Kong Hu Chu (Kong fuzi – +/-
tahun 550 SM) yang akhirnya berkembang menjadi pada tokoh terakhir ini,
dalam perjalanan sejarah menjadi keyakinan yang dianut oleh masyarakt
ini, walau ada sebaian masyarakat menyembah secara terpisah, namun
sebagian besar masyarakat menyembahnya dengan digabung menjadi satu dan
disebut San Jiao (Tiga Ajaran – Tri Dharma).
Semenjak itu, pada
perayaan Hari Raya Imlek, para umat agama tersebut disamping melakukan
kebiasaan (adat dan tradisi) penyembutan Hari Raya Imlek dalam keluarga
masing-masing, juga melakukan sembayang (penghormatan dan syukuran)
kepada Tian (sebutan terhadap Tuhan) serta siombol-simbol ketuhanan yang
diyakini umatnya, di Klenteng (rumah ibadah Tri Dharma atau Tao) dan
Vihara (Budha), sebagai ungkapan rasa syukur atas keselamatan dan rezeki
yang telah diperoleh serta pengharapan untuk sesuatu yang lebih baik di
masa yang akan datang pada Sang Pencipta atau Penguasa Alam Semesta
ini, namun bagi masyarakat yang kemudian memeluk agama lain (Islam dan
kristen yang menyebar ke daratan Tiongkok pada abad V dan VI), bahkan
bagi pemaham ajaran Atheis (pada abad XIX), tentu acara-acara ritual itu
tidak dilakukan, cukup dengan kebiasaan (adat dan tradisi) dalam
keluarga.
Indonesia tergolong tempat kedatangan imigran dari
daratan Tiongkok yang terbesar di seluruh dunia, sejak abad VII, para
saudagar dari daratan Tiongkok berdatangan ke Nusantara, mereka
disamping melakukan perdagangan dengan penduduk setempat, juga melakukan
penyebaran agama yang dianutnya, dari agama Hindu, Budha sampai agama
Islam, sebagian mereka akhirnya tinggal dan menetap disini (buku
Ying-yai Sheng-lan yang mencatat perjalanan Cheng Ho dituliskan dan
menetap disini (buku Ying-yai Sheng-lan yang mencatat perjalanan Cheng
Ho dituliskan bahwa beliau telah berkunjung/menemui pada beberapa
komunitas Tionghoa muslim yang bermukim di Nusantara), setelah Kerajaan
Belanda datang dan akhirnya menjajah di Nusantara dengan VOCnya, untuk
memenuhi kebutuhan tenaga kerja di perkebunan, pertambangan, dan
bangunan VOC, mereka mendatangkan orang-orang dari daratan Tiongkok
bagian timurlaut yang saat itu terpuruk akibat perang dan bencana alam
yang terjadi disana, dan para pendatang ini beragama leluhur (Tao, Tri
Dharma atau Budha) dan dimanfaatkan oleh penjajah Belanda sebagai
’kepanjangan tangan’ mereka dalam menjalankan pemerintahan kolonialnya.
Dengan demikian sejak itu terdapat dua macam komunitas Tionghoa yang
berbeda agama dan tinggal / menetap di Nusantara, pada akhirnya menjadi
generasi sekarang yang sangat berbeda satu dengan yang lain (Heterogen –
masing-masing membentuk karakter yang berbeda berdasarkan dari latar
belakang generasi, pendidikan, agama dan tempat kelahiran / domisili),
sehingga dalam menyikapi Tahun Baru Imlek ini, masing-masing memiliki
pandangan yang berbeda.
Orde Baru yang menutup sekolah berbahasa
Tionghoa, melarang buku, majalah dan apapun yang beraksara Tionghoa /
Mandarin, yang berlangsung selama 30 tahun lebih, telah mengikis habis
orang-orang Tionghoa di Indonesia yang benar-benar paham dengan sejarah,
budaya, adat istiadat dan tradisi leluhur dari Tiongkok, mereka telah
habis karena meninggal dunia atau pikun oleh usia yang uzur, sehingga
pemahaman tentang Tahun Baru Imlek ini hanya sebatas apa yang tetap /
pernah dilakukan dalam keluarga masing-masing, dan pengalaman peribadi
ketika berada di Komunitas Tionghoa yang tinggal di luar negeri / negara
tetangga (Singapore, Malaysia, Hongkong dan Taiwan), bahkan yang pernah
mendapat pengalaman di Tiongkok, sedangkan sekelumit pemahaman yang
diperoleh ini lebih banyak berarah pada segi seremonial atau hanya dari
sudut pandang bisnis, bukan dari sudut ilmiah dan kebenaran sejarah.
Era Reformasi yang demokratis dan menjunjung tinggi Hak-Hak Asasi
Manusia (HAM), bertekad membangun Wawasan Kebangsaan dengan paham
Pularisme, serta usaha pemerintah sekarang dalam menghapuskan
perbedaan-perbedaan hukum antar warga negara, seluruh rakyat Indonesia,
telah menghidupkan kembali gairah warga Tionghoa utnuk merayakan Hari
Raya Imlek yang secara resmi ditetapkan sebagai Hari Raya Nasional.
Namun perlu diingat, bahwa makna dan nilai-nilai budaya, adat serta
tradisi leluhur atas Hari Raya Imlek ini harus benar-benar dipahami oleh
seluruh masyarakat Indonesia, terutama bagi Warga Tionghoa, jangan
sekedar seremonial yang berlebihan dan pesta hura-hura, karena euphoria
hanya akan melukai hati orang lain, ketidak pahaman akan membuat orang
lain menjadi curiga, hanya keterbukaan dan kebersamaan yang justru akan
menambah kemeriahan Perayaan Hari Raya Imlek ini.
Pada saat ini
dalam merayakan Hari Raya Imlek, masyarakat Tionghoa seperti yang
beragama Khatolik merayakannya di lingkungan gereja. Beberapa gereja
Katolik di Jakarta pada setiap Hari Raya Imlek selalu mengadakan Misa
Khusus yang dipersembahkan sebagai rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa.
Bagi Orang Islam Tionghoa, begitu pula seperti warga PITI di D. I
Yogyakarta sejak beberapa tahun lalu telah mengadakan syukuran antara
lain di Masjid Syuhada. Jadi Hari Raya Imlek sesungguhnya dapat
dirayakan oleh seluruh warga, karena Perayaan Hari Raya Imlek tidak
berkaitan dengan kepercayaan/agama.
SABBE SATTA BHAVANTU SUKHITATTA
MAY ALL BEINGS BE HAPPY
SEMOGA SEMUA MAKHLUK BERBAHAGIA