Kisah Asal-Usul Kipas Zhu Ge Liang (Kong Beng)
Zhuge Liang (诸葛亮)
adalah seorang ahli strategi Tiongkok kuno yang terkenal pada periode Perang
Tiga Negara (Sam Kok). Ia juga memiliki nama panggilan Kong Ming. Dalam kisah
Sam Kok, ia berpihak kepada Liu Bei yang kelak mendirikan negara Shu.
Sebelumnya Liu Bei sampai tiga kali mendatangi rumah
Zhu Ge Liang dengan berjalan kaki jauh ke puncak gunung. Pada kunjungan pertama
dan kedua, Liu Bei tidak bertemu dengan Zhuge Liang, namun tekad Liu Bei
bertemu Zhuge Liang yang tulus membuat dia pantang menyerah sebelum bertemu.
Dan akhirnya pada kunjungan ketiga Liu Bei bisa bertemu Zhu Ge Liang.
Mengetahui tekad Liu Bei yang sangat tulus, Zhuge Liang merasa terharu dan
akhirnya memutuskan bergabung dengan Liu Bei. Taktik pertama Zhuge Liang yang
diberikan kepada Liu Bei adalah “Long Zhong”, yaitu pembagian Tiongkok menjadi
3 negara.
Dalam cerita Zhuge Liang dilukiskan seseorang yang
memakai jubah dan selalu membawa kipas yang terbuat dari bulu bangau. Ketika
berumur 9 tahun, Zhuge Liang masih belum bisa berbicara. Dia hidup dalam
keluarga yang miskin, dia hidup dengan mengembala domba di bukit. Suatu hari
Zhuge Liang menemukan sebuah kuil yang ditinggali oleh pendeta Tao yang
kepalanya penuh uban. Zhuge Liang pun jadi sering bermain di sekitar kuil
tersebut ketika mengembalakan domba. Pendeta Tao yang penuh uban itu menjadi
tertarik kepada Zhuge Liang setelah mengamatinya. Lantas pendeta Tao yang penuh
uban itu mengobati kebisuan Zhuge Liang dan akhirnya Zhuge Liang pun bisa
berbicara. Pendeta Tao pun mengangkat Zhuge Liang menjadi muridnya,
mengajarinya ilmu astronomi, geografi, seni, dan cara menerapkan yin yang dalam
kehidupan. Pendeta Tao itu sangat senang kepada Zhuge Liang, karena dia tidak
pernah mengajarkan pelajaran yang sama sampai dua kali. Zhuge Liang setiap hari
tidak pernah bolos pergi ke kuil untuk belajar.
Suatu hari ketika perjalanan pulang dari kuil
pendeta Tao, cuaca sangat buruk, hujuan turun dengan deras. Ketika hendak
berteduh Zhuge Liang melihat sebuah pondok di tengah hutan. Zhuge Liang
mengetuk pintu dan mendapati seorang wanita cantik tinggal seorang diri di
pondok itu. Zhuge Liang mengenalkan dirinya kepada wanita cantik itu dan
mengatakan maksudnya untuk berteduh. Wanita itu pun mempersilahkan masuk dan
menjamunya dengan teh. Mereka saling berbincang dan mengakrabkan diri, Zhuge
Liang pun menjadi tertarik terhadap wanita itu.
“Malam ini, kamu telah aku ijinkan berteduh di dalam
pondok ini, esok lain kali kamu datanglah ke mari lagi tanpa sungkan-sungkan”
kata si wanita cantik itu.
Kesokan harinya Zhuge Liang tidak bisa berhenti
memikirkan wanita itu, ia pun bolos mengikuti pelajaran di kuil pendeta Tao dan
malah pergi ke pondok wanita itu. Wanita itu menjamu Zhuge Liang dengan sangat
baik, setelah minum teh, mereka biasanya bermain catur bersama. Zhuge Liang pun
sering mengunjungi pondok wanita itu. Pendeta Tao pun menjadi gelisah, karena
Zhuge Liang tiba-tiba menjadi sedikit pelupa dan kesulitan mempelajari buku
pelajaran baru. Akhirnya Pendeta Tao pun menemukan akar permasalahannya.
“Lebih mudah menebang sebuah pohon ketimbang menanam
sebuah pohon.” ujar Pendeta Tao.
“Aku telah menyia-nyiakan banyak tahun untuk mu”
kata Pendeta Tao. Zhuge Liang pun menjadi malu mendengar perkataan gurunya.
“Maaf guru, murid tidak akan mengecawakan lagi”
jawab Zhuge Liang dengan malu.
“Kamu adalah anak yang cerdas, karena itu aku
mengobati kebisuan kamu dan mengajarkan mu ilmu pengetahuan. Tapi sekarang kamu
tiba-tiba saja menjadi kesulitan menerima pelajaran ku. Semua pasti ada
penyebabnya.” ujar Pendeta Tao
“Lihat pohon itu!” sambil menunjuk sebuah pohon yang
dililit tanaman rambat yang tebal.
“Kamu pikir mengapa pohon itu berjuang mati-matian
dalam setiap pertumbuhannya, namun tidak bisa tumbuh tinggi seperti pohon
lain?” tanya Pendeta Tao
“Karena ada tanaman rambat yang menghambat
pertumbuhannya, Guru” jawab Zhuge Liang.
“Tepat sekali, pohon itu tumbuh di tempat yang
cadas, tapi ia berusaha mati-matian untuk tumbuh, dia mengembangkan akar dan
cabangnya. Tidak pernah takut udara panas maupun dingin. Namun karena ada
tanaman rambat yang melilitnya, pohon itu tidak bisa tumbuh setinggi pohon
lain. Bagaimana bisa hal yang kecil dan lembut seperti tanaman rambat
mengalahkan pohon yang besar dan kokoh?”
Zhuge Liang pun merasa tersindir oleh gurunya.
“Guru bagaimana tahu persoalan asmara ku?”
“Hidup di dekat gunung, orang akan mempelajari
bahasa burung. Hidup di dekat air, orang akan memahami sifat alamiah ikan. Aku
telah mengamati mu sudah cukup lama, bagaiamana kehidupan asmara mu bisa luput
dari ku?”
“Dengarlah, wanita yang kau temui di pondok itu
bukan manusia, dia adalah seekor bangau yang menjelma menjadi wanita cantik
untuk menyesatkan manusia. Namun tanpa sebuah jubah dia tidak bisa menjelma
menjadi manusia.” ujar Pendeta Tao.
Mengikuti nasihat gurunya, suatu malam saat Si
Bangau itu sedang mandi di sungai langit, Zhuge Liang diam-diam masuk ke dalam
pondoknya dan membakar jubah yang dipakai Si Bangau untuk menjelma menjadi
manusia. Mengetahui ada api dari pondok, Si Bangau bergegas pulang untuk
menyelamatkan jubahnya. Namun Si Bangau dihadang oleh Zhuge Liang. Sebelum Si
Bangau sempat menyerang, Zhuge Liang memukul jatuh bangau itu dengan tongkat
pemberian gurunya. Zhuge Liang berhasil menangkap bangau itu, sebelum akhirnya
bisa melawan kabur dan kehilangan bulu ekornya. Zhuge Liang pun memungut bulu
bangau tersebut untuk ditunjukan kepada gurunya.
Tepat setahun setelah peristiwa itu, Pendeta Tao
akhirnya berpamitan kepada Zhuge Liang.
“Kamu sekarang sudah berusia 18 tahun, sudah saatnya
kamu meninggalkan rumah dan mengembangkan karirmu.Kamu harus belajar dari
kunjunganmu ke pondok bangau itu, manusia tidak boleh mudah tergoda oleh nafsu
dan keinginan semu. Pendidikan sejati berasal dari kehidupan nyata. Aku akan
meninggalkan mu hari ini, kamu tidak akan bisa menemui ku lagi di kuil ini. Aku
akan berkeliling dunia.” ujar Pendeta Tao kepada Zhuge Liang untuk yang
terakhir kalinya.
“Guru, sebelum guru pergi ijinkan aku bersujud dan
berterima kasih kepada guru.”
Setelah bersujud, Zhuge Liang mendapati Pendeta Tao
sudah lenyap dari hadapannya. Meninggalkan sebuah jubah yang dipakainya
sehari-hari. Untuk mengenang gurunya, Zhuge Liang mengambil jubah itu untuk
dirinya. Sedangkan bulu ekor bangau yang ia dapatkan setahun lalu, dia jadikan
sebuah kipas agar dia selalu mengingat kesalahannya yang penah mengecewakan
gurunya itu, agar dia selalu berhati-hati seumur hidupnya.
Pada usia 27 tahun Liu Bei datang melamar Zhuge
Liang untuk bergabung dengannya. Zhuge Liang pun mulai merintis karir sebagai
ahli strategi negara Shu. Dalam setiap peperangan Zhuge Liang dikenal sebagai
seorang yang sangat teliti dan hati-hati, dia tidak pernah kehilangan
pasukannya lebih dari 5%.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar